Minggu, 25 Desember 2011

hyper reality / realitas super

Hyper reality adalah keadaan dimana seseorang menganggap obyek yang semu itu sebagai sesuatu yang lebih “nyata” dibandingkan obyek yang nyata lainnya. Maksudnya adalah hyper reality itu keadaan manusia yang menganggap obyek yang merupakan “imajinasi” orang tersebut adalah sesuatu yang lebih nyata, dibandingkan sesuatu yang dianggap orang lebih nyata. Hyperreality adalah signifikan sebagai paradigma untuk menjelaskan kondisi budaya saat ini, yaitu kondisi budaya konsumerisme (Baudrillard, 1970: 47), masyarakat yang menjalankan logika sosial konsumsi, dimana kegunaan dan pelayanan bukanlah motif terakhir tindakan konsumsi. Melainkan lebih kepada produksi dan manipulasi penanda-penanda sosial.
Dibukunya The Simbolic Exchange and Death, Jean Baudrillard menggunakan konsep Lacan tentang simbolik, imajiner, dan nyata untuk mengembangkan konsep ini saat menyerang ortodoksi Kiri politik, dimulai dengan realitas diasumsikan kekuasaan, produksi, keinginan, masyarakat, dan legitimasi politik. Baudrillard berpendapat bahwa semua realitas telah menjadi simulasi, yaitu, tanda-tanda tanpa rujukan apapun, karena yang nyata dan imajiner telah diserap ke dalam simbolik (Lechte, 1994: 234). Simulasi adalah penciptaan kenyataan yang tidak bias dilihat kebenarannya di dalam kenyataan (Baudrillard, 1983: 32). Hal seperti seni, dan kebutuhan manusia lain ditayangkan kepada media melalui model-model yang ideal, hal inilah yang membuat masyarakat menjadi kaum konsumerisme, dan tidak bisa membedakan dimana yang nyata dan mana yang tidak nyata. Dalam era simulasi ini, realitas tak lagi memiliki eksistensi.
Era simulasi berawal dari proses penghancuran segala acuan referensi dan bahkan lebih buruk lagi. Era simulasi tidak lagi berkaitan dengan persoalan imitasi, reduplikasi atau bahkan parodi. Era simulasi lebih tertarik mempersoalkan proses penggantian tanda-tanda real, bagi realitas itu sendiri, yakni suatu proses untuk menghalangi setiap proses real dengan mekanisme operasi ganda, sebuah konsep metastabil, terprogram, sebagai sebuah mesin penggambaran yang sempurna yang menyediakan semua tanda real dan serangkaian kemungkinan perubahannya (Baudrillard, 1983: 4). Hyperrealitas dengan demikian berbeda sama sekali dari yang real maupun yang imajiner, yakni suatu tempat bagi pengulangan secara kontinyu model-model dan perbedaan. Dalam dunia simulasi seperti ini, prinsip-prinsip representasi modernisme menjadi tidak lagi relevan. Pembedaan antara objek dan subjek, real dan semu, penanda dan petanda, dalam paradigma modernisme tidak bisa lagi dilakukan. Manusia kini hidup dalam ruang imajinasi yang nyata sebuah fiksi yang faktual. Realitas-realitas simulasi menjadi ruang kehidupan baru dimana manusia menemukan dan mengaktualisasikan eksistensi dirinya. Lewat televisi, misalnya, dunia simulasi tampil secara sempurna. Inilah ruang yang tak lagi peduli dengan kategori-kategori nyata, semu, benar, salah, referensi, representasi, fakta, citra, produksi, reproduksi semuanya lebur menjadi satu dalam silang sengkarut tanda. Dengan televisi realitas tidak hanya diproduksi, disebarluaskan atau direproduksi, bahkan juga dimanipulasi. Dalam realitas simulasi seperti ini, manusia tak lebih sebagai sekumpulan massa mayoritas yang diam, yang menerima segala apa yang diberikan padanya.
Bisa dikatakan bahwa kehidupan manusia yang konsumerisme sendiri itulah yang membuat hyper reality terus menerus menguasai manusia saat ini. Kita tidak bisa mengelak bahwa manusia lebih menyukai hal-hal yang sudah ada, walaupun itu sebenarnya tidak nyata. Kebudayaan memproduksi di dalam hidup manusia semakin lama semakin sempit, sehingga kaum-kaum kapitalis semakin menjadi untuk memberikan hal-hal yang semu bagi manusia lainnya. Jadi kebudayaan manusia saat ini adalah sesuatu yang membodohkan, maksudnya adalah keinginan manusia untuk lepas dari imajinasinya sudah sangat jarang. Televisi sebagai sesuatu yang bisa dikatakan sebagai “tuhan”nya manusia saat ini sudah membuat manusia terhipnotis ke dalam dunia imajinasinya sendiri-sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar